Ironi Budaya Daerah
Pernahkan
Anda membayangkan bila nanti kita ingin mementaskan geguritan (puisi berbahasa
jawa) kita harus memanggil orang asing dulu karena sudah tak ada lagi orang Indonesia,
khususnya orang Jawa Timur, yang piawai membaca geguritan. Pertanyaan itu bukan
guyonan karena fakta beribicara bahwa
semakin lama geguritan, yang merupakan bagian dari budaya daerah, semakin
tersisih.
Kita
juga bisa mencatat bahwa dalang-dalang Eropa dan Amerika terus bermunculan dan
telah banyak mementaskan wayang kulit di wilayah Indonesia, khususnya di pulau
Jawa. Sedangkan pertumbuhan dalang orang Jawa sendiri justru bisa dihitung dengan jari.
Jika tak diantisipasi dan segera
dicarikan jalan keluar bisa jadi nanti kita benar-benar seperti tamu di negeri
sendiri. Suatu saat kita akan menonton dengan takjub wayang kulit, atau
kesenian daerah lainnya yang dimainkan oleh orang-orang asing.
Ada beberapa penyebab mengapa budaya daerah
semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Jika dipilah ada faktor internal dan
faktor eksternal yang berkontribusi mematikan minat anak muda terhadap budaya
daerah. Kedua faktor itu saling mempengaruhi dan kait-mengait.
Faktor internal yang bisa dijabarkan
antara lain, pertama, generasi muda kurang memiliki jati diri yang kuat.
Wawasan tentang budaya daerah sangat tipis. Mereka tak paham apa arti sebuah
budaya bagi dirinya. Akibatnya, mereka tak memiliki simpati dan apresiasi
terhadap budayanya sendiri.. Selanjutnya, agaimana mungkin mereka akan
mempelajari dan memahami budaya daerah jika tak memiliki simpati dan apresiai?
Kedua, generasi muda kurang mengenal
budaya daerahnya sendiri. Ada
ungkapan tak kenal maka tak sayang. Mereka tak memiliki referensi utuh tentang
budaya di daerahnya sendiri. Sehingg tak ada stimulus atau rangsangan yang
“mengelitik” mereka untuk mau belajar dan memahami budaya daerah atau minimal
mau “menengok” bentuk dan ragam budaya daerahnya.
Faktor internal tersebut disebabkan oleh
faktor eksternal yang begitu kuat pengaruhnya. Faktor eksternal itu antara
lain, pertama, tidak adanya institusi yang fokus dan serius menanamkan wawasan
kepada anak muda untuk bangga kepada budayanya sendiri.
Dulu wawasan budaya daerah sering diselipkan dalam Penataran
P4. Jadi suka atau tidak suka semua komponen akan tersentuh wawasan budaya.
Terlepas dari motif P4 yang digunakan untuk melanggengkan rezim Orde baru, tak
bisa dipungkiri P4 berkontribusi dalam membuka wawasan budaya daerah. Terukti anak-anak
dulu hafal satu persatu tari-tarian dan kesenian daerah di seluruh Indonesia kini
kesenian khas daerahnya sendiri kadang tak tahu.
Kedua, kurikulum yang ada kurang
menyentuh muatan lokal. Kalaupun bahasa daerah dan kesenian daerah dijadikan
muatan lokal masih belum mengenai sasaran dengan baik.
Ketiga, pengajaran budaya daerah
lewat pelajaran disekolah kurang didukung oleh pengajar yang pofesional. Tanpa
bermaksud merendahkan kualitas guru bahasa daerah atau kesenian daerah, kita
harus jujur bahwa mereka (guru bahasa daerah) merupakan produk (out put) yang
berasal dari in put yang pas-pasan.
Minat orang untuk masuk ke jurusan
Sastra Bahasa Jawa sangat rendah. Seleksi masuk juga tak seketat
jurusan-jurusan lainnya. Imbasnya adalah out put kurang memadai untuk
mengajarkan budaya daerah.
Keempat, serbuan budaya asing yang (dianggap) lebih memiliki
gengsi dan sesuai selera pasar begitu deras. Generasi muda lebih memilih untuk
belajar musik yang komersil daripada gamelan. Lebih suka menyanyikan lagu pop
atau rock daripada macapat.
Berpijak dari faktor penyebab
tergerusnya budaya daerah, baik sastra daerah maupun kesenian daerah, harus
segera diretas jalan keluarnya. Setidaknya ada bebrapa langkah yang bisa
dilakukan, pertama, memberi wawasan budaya daerah. Harus ada satu lembaga yang
bisa menguatkan jati diri anak muda. Baik institusi pusat maupun institusi
pemerintah daerah. Institusi ini terus secara intens membina generasi muda
untuk minimal mengenal budaya daerahnya sendiri.
Kedua, menjaring generasi muda untuk
masuk ke jurusan bahasa daerah atau kesenian daerah melalui program beasiswa.
Dengan banyaknya peminat yang masuk harapan untuk menghasilkan guru yang handal
semakin besar.
Ketiga, meningkatkan kualitas guru
bahasa daerah agar lebih inovatif lewat pendidikan dan pelatihan. Kita berharap
diklat ini akan berimbas kepada keterampilan dalam mengajar siswa di kelas.
Keempat, mengonsep ulang kurikulum
bahasa daerah dan kesenian agar bisa memberi ruang yang lebih luas untuk
mengenalkan langsung budaya daerah. Bukan sekedar teori dan wawsan kognitif tetapi mengembangkan
apresaisi dan praktek budaya daerah.
Kelima, mengadakan festival-festival
untuk menjaring bibit-bibit baru. Festival akan memberikan stimulus kepada anak
muda yang memiliki minat terhadap budaya daerah. Semakin sering dan berbobot
festival budaya daerah maka anak muda akan semakin tertarik mengikutinya
Untuk menalankan semua langkah itu
tentu harus ada sinergi dan melibatkan semua komponen. Pemerintah, sekolah,
LSM, sanggar-sanggar seni, pegiat seni, harus bekerjama untuk menumbuhkan minat
dikalangan anak muda. Tanpa kolektifitas kerja mustahil budaya daerah bisa
bertahan.
Khusus untuk pemerintah daerah
(pemprov dan pemkot/pemkab) harus lebih perhatian terhadap budaya daerah. Jangan
sampai mereka terjebak pada pembangunan fisik belaka. Pembagunan budaya daerah
harus disentuh.
Akhirnya, semua tergantung kita
sendiri. Apakah rela budaya daerah kita
dikuasai oleh orang asing. Jika kita diam dan membiarkan begitu saja yakinlah
budaya daerah satu per satu hanya akan tinggal nama saja. Tapi, jika berusaha
dan bergerak cepat dan terkonsep peryalah akan ada hasi
Penulis : Riyanto