FOTO

Senin, 15 Agustus 2016

Ironi Budaya Daerah



Pernahkan Anda membayangkan bila nanti kita ingin mementaskan geguritan (puisi berbahasa jawa) kita harus memanggil orang asing dulu karena sudah tak ada lagi orang Indonesia, khususnya orang Jawa Timur, yang piawai membaca geguritan. Pertanyaan itu bukan guyonan karena fakta beribicara bahwa semakin lama geguritan, yang merupakan bagian dari budaya daerah, semakin tersisih.
           Kita juga bisa mencatat bahwa dalang-dalang Eropa dan Amerika terus bermunculan dan telah banyak mementaskan wayang kulit di wilayah Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Sedangkan pertumbuhan dalang orang Jawa sendiri justru bisa dihitung dengan jari. 
            Jika tak diantisipasi dan segera dicarikan jalan keluar bisa jadi nanti kita benar-benar seperti tamu di negeri sendiri. Suatu saat kita akan menonton dengan takjub wayang kulit, atau kesenian daerah lainnya yang dimainkan oleh orang-orang asing.
            Ada beberapa penyebab mengapa budaya daerah semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Jika dipilah ada faktor internal dan faktor eksternal yang berkontribusi mematikan minat anak muda terhadap budaya daerah. Kedua faktor itu saling mempengaruhi dan kait-mengait.
            Faktor internal yang bisa dijabarkan antara lain, pertama, generasi muda kurang memiliki jati diri yang kuat. Wawasan tentang budaya daerah sangat tipis. Mereka tak paham apa arti sebuah budaya bagi dirinya. Akibatnya, mereka tak memiliki simpati dan apresiasi terhadap budayanya sendiri.. Selanjutnya, agaimana mungkin mereka akan mempelajari dan memahami budaya daerah jika tak memiliki simpati dan apresiai?
            Kedua, generasi muda kurang mengenal budaya daerahnya sendiri. Ada ungkapan tak kenal maka tak sayang. Mereka tak memiliki referensi utuh tentang budaya di daerahnya sendiri. Sehingg tak ada stimulus atau rangsangan yang “mengelitik” mereka untuk mau belajar dan memahami budaya daerah atau minimal mau “menengok” bentuk dan ragam budaya daerahnya.
            Faktor internal tersebut disebabkan oleh faktor eksternal yang begitu kuat pengaruhnya. Faktor eksternal itu antara lain, pertama, tidak adanya institusi yang fokus dan serius menanamkan wawasan kepada anak muda untuk bangga kepada budayanya sendiri.
Dulu wawasan budaya daerah sering diselipkan dalam Penataran P4. Jadi suka atau tidak suka semua komponen akan tersentuh wawasan budaya. Terlepas dari motif P4 yang digunakan untuk melanggengkan rezim Orde baru, tak bisa dipungkiri P4 berkontribusi dalam membuka wawasan budaya daerah. Terukti anak-anak dulu hafal satu persatu tari-tarian dan kesenian daerah di seluruh Indonesia kini kesenian khas daerahnya sendiri kadang tak tahu.
            Kedua, kurikulum yang ada kurang menyentuh muatan lokal. Kalaupun bahasa daerah dan kesenian daerah dijadikan muatan lokal masih belum mengenai sasaran dengan baik.
            Ketiga, pengajaran budaya daerah lewat pelajaran disekolah kurang didukung oleh pengajar yang pofesional. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas guru bahasa daerah atau kesenian daerah, kita harus jujur bahwa mereka (guru bahasa daerah) merupakan produk (out put) yang berasal dari in put yang pas-pasan.
            Minat orang untuk masuk ke jurusan Sastra Bahasa Jawa sangat rendah. Seleksi masuk juga tak seketat jurusan-jurusan lainnya. Imbasnya adalah out put kurang memadai untuk mengajarkan budaya daerah.
Keempat, serbuan budaya asing yang (dianggap) lebih memiliki gengsi dan sesuai selera pasar begitu deras. Generasi muda lebih memilih untuk belajar musik yang komersil daripada gamelan. Lebih suka menyanyikan lagu pop atau rock daripada macapat.
            Berpijak dari faktor penyebab tergerusnya budaya daerah, baik sastra daerah maupun kesenian daerah, harus segera diretas jalan keluarnya. Setidaknya ada bebrapa langkah yang bisa dilakukan, pertama, memberi wawasan budaya daerah. Harus ada satu lembaga yang bisa menguatkan jati diri anak muda. Baik institusi pusat maupun institusi pemerintah daerah. Institusi ini terus secara intens membina generasi muda untuk minimal mengenal budaya daerahnya sendiri.
            Kedua, menjaring generasi muda untuk masuk ke jurusan bahasa daerah atau kesenian daerah melalui program beasiswa. Dengan banyaknya peminat yang masuk harapan untuk menghasilkan guru yang handal semakin besar.
            Ketiga, meningkatkan kualitas guru bahasa daerah agar lebih inovatif lewat pendidikan dan pelatihan. Kita berharap diklat ini akan berimbas kepada keterampilan dalam mengajar siswa di kelas.
            Keempat, mengonsep ulang kurikulum bahasa daerah dan kesenian agar bisa memberi ruang yang lebih luas untuk mengenalkan langsung budaya daerah. Bukan sekedar teori  dan wawsan kognitif tetapi mengembangkan apresaisi dan praktek budaya daerah.
            Kelima, mengadakan festival-festival untuk menjaring bibit-bibit baru. Festival akan memberikan stimulus kepada anak muda yang memiliki minat terhadap budaya daerah. Semakin sering dan berbobot festival budaya daerah maka anak muda akan semakin tertarik mengikutinya
            Untuk menalankan semua langkah itu tentu harus ada sinergi dan melibatkan semua komponen. Pemerintah, sekolah, LSM, sanggar-sanggar seni, pegiat seni, harus bekerjama untuk menumbuhkan minat dikalangan anak muda. Tanpa kolektifitas kerja mustahil budaya daerah bisa bertahan.
            Khusus untuk pemerintah daerah (pemprov dan pemkot/pemkab) harus lebih perhatian terhadap budaya daerah. Jangan sampai mereka terjebak pada pembangunan fisik belaka. Pembagunan budaya daerah harus disentuh.
            Akhirnya, semua tergantung kita sendiri. Apakah  rela budaya daerah kita dikuasai oleh orang asing. Jika kita diam dan membiarkan begitu saja yakinlah budaya daerah satu per satu hanya akan tinggal nama saja. Tapi, jika berusaha dan bergerak cepat dan terkonsep peryalah akan ada hasi
Penulis : Riyanto

Rabu, 04 Mei 2016

test

test OPO
Copyright © 2015 KATA HATI